Industri manufaktur dan jasa secara global memang sedang mencatatkan kinerja yang melambat. Terlebih, suramnya prospek ekonomi global belum menunjukkan titik akhir.
Inflasi dan suku bunga yang meninggi masih menjadi ‘momok mengerikan’ saat ini sehingga memberikan terkanan terhadap prospek ekonomi global itu sebabnya, sektor manufaktur serta jasa secara global ikut terimbas oleh kondisi tersebut.
Sebagaimana diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,8% pada 2023 dan 3% di 2024.
Proyeksi itu diturunkan 0,1 poin persentase dari perkiraan sebelumnya pada Januari 2023 karena suku bunga tinggi.
Kejatuhan Silicon Valley Bank, Signature Bank dan Credit Suisse Group telah membuat pasar gelisah. Hal itu memperumit upaya bank sentral menjinakkan inflasi ketika mereka juga harus mendukung ekonomi supaya tetap tumbuh serta menjaga sektor perbankan tetap sehat.
Ada banyak negara yang mengalami kontraksi pada Purchasing Managers Index (PMI), beberapa yang menjadi sorotan diantaranya Amerika, Eropa, China dan Jepang.
Biro Statistik Nasional China pada Minggu (2/5/2023) Indeks manajer pembelian (PMI) untuk sektor manufaktur China mencapai 49,2 pada bulan April, turun 2,7 poin indeks dari bulan lalu yakni di angka 51,9 pada bulan Maret.
Untuk diketahui, PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 artinya kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.
Penurunan tersebut disebabkan oleh permintaan pasar yang tidak mencukupi dan basis perbandingan yang tinggi dari pemulihan manufaktur yang cepat pada kuartal pertama, kata ahli statistik senior NBS, Zhao Qinghe.
Meskipun demikian, PMI untuk manufaktur peralatan tetap lebih tinggi dari angka 50 poin. Manufaktur peralatan terus berkembang dengan indeks produksi dan indeks pesanan baru keduanya mencapai lebih dari 51 poin indeks.
Secara khusus, jasa dan konstruksi keduanya menunjukkan ekspansi dengan indeks aktivitas masing-masing sebesar 55,1 dan 63,9.
Pasca ‘mati suri’ dan berkutat terus-terusan akibat Covid-19, kini ekonomi china bersiap untuk bangkit. Pasca kebijakan China mencabut kebijakan Nol-Covid mereka pada 7 Desember lalu memberikan harapan angin segar bagi perekonomian dunia.
Padahal belum lama ini ekonomi China tumbuh lebih cepat dari perkiraan analis. Ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut melesat pada kuartal I-2023 melebihi ekspektasi pasar.
Ekonomi Tiongkok tumbuh 4,5% (year on year/yoy) pada tiga bulan pertama tahun ini.
Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar sebesar yang berada di angka 4% dan di atas kuartal IV-2023 yang tercatat 2,9% (yoy).
Secara kuartal, ekonomi China tumbuh 2,2% pada Januari-Maret 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan 0,6% pada kuartal sebelumnya.
Disamping kondisi China yang membuat ‘ketar-ketir’, lantas bagaimana kinerja PMI negara-negara global seperti AS, Eropa, dan Jepang? Serta bagaimana prospek kinerja ekspor-impornya dan bagaimana dampaknya bagi Tanah Air.
Jika sektor manufaktur masih tertekan maka akan membebani ekonomi negara tersebut dan bakal berdampak pula pada negara mitra dagangnya.
Dari Amerika Serikat, aktivitas manufaktur kembali mengalami kontraksi pada Maret memperpanjang kontraksi beruntun menjadi empat bulan.
Meski demikian, kontraksi ini tidak secepat yang diharapkan oleh ekonom dan analis dengan pabrik yang disurvei menyebut saat ini terlihat adanya tanda-tanda peningkatan permintaan dan percepatan kenaikan harga di bulan-bulan mendatang.
Sementara, Zona Eropa PMI untuk sektor manufaktur telah terkontraksi 9 bulan beruntun.Pada Februari PMI zona Eropa tercatat sebesar 48,5 yang artinya masih berada di zona kontraksi.
Berkurangnya tingkat produksi tersebut dipicu oleh penurunan tajam pada permintaan. Pesanan barang telah berkurang dengan laju yang cepat selama dua bulan terakhir.
Permintaan jatuh hampir di seluruh sektor barang mulai dari barang konsumsi, barang investasi, hingga barang setengah jadi.
Hal tersebut dipicu oleh melonjaknya pengeluaran rumah tangga karena harga energi dan pangan melonjak, serta prospek ekonomi yang tidak pasti masih membebani pasar. Sehingga, konsumen lebih berhati-hati untuk membeli barang.
Dari Jepang, aktivitas manufaktur telah terkontaksi selama 6 bulan beruntun. Meskipun sedikit mencatatkan kenaikan di angka 49,5 dari 49,2 pada bulan sebelumnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan tahun 2023 menjadi tahu yang berat bagi perekonomian dunia. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang belum juga keluar dari zona kontraksi.
Meski begitu, Indonesia patut bersyukur karena PMI Manufaktur masih tergolong ekspansif dan masih akseleratif.
Aktivitas manufaktur Indonesia melonjak pada April 2023 didukung oleh kuatnya permintaan dalam negeri menjelang Lebaran.
S&P Global merilis data aktivitas manufaktur Indonesia yang dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) pada Senin (2/5/2023).
Untuk periode April 2023, PMI manufaktur Indonesia ada di angka 52,7. PMI jauh lebih tinggi dibandingkan pada Maret 2023 yang tercatat di 51,9. Indeks periode kali ini yang tertinggi sejak September 2022 atau tujuh bulan terakhir.
Data hari ini juga menunjukkan PMI manufaktur Indonesia sudah berada dalam fase ekspansif selama 20 bulan terakhir.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
Berdasarkan data ini, para analis dan banyak pelaku pasar masih optimistis terhadap kondisi perekonomian di Tanah Air. Meskipun pemerintah tetap perlu memberikan perhatian khusus agar pebisnis tetap melakukan ekspansi usahanya.
Setidaknya ada dua faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan ekspansi kinerja manufaktur hingga akhir tahun ini yakni faktor permintaan dari pasar domestik dan daya beli masyarakat.
Faktor ini menjadi penting karena mayoritas industri manufaktur nasional memiliki orientasi pasar domestik, bukan ekspor.
Selain itu,faktor akumulasi peningkatan beban usaha yang berkaitan dengan kebijakan pengendalian inflasi, nilai tukar, suku bunga, logistik, serta harga komoditas global.
PMI manufaktur yang sedikit melemah saat ini terjadi lantaran pelaku usaha ingin mengantisipasi adanya efek negatif inflasi terhadapappetitekonsumsi dan daya beli masyarakat.
Permintaan dari dalam negeri dilaporkan semakin membaik yang membuat sektor manufaktur terus melakukan ekspansi secara moderat. Kemudian masalah rantai pasokan mulai teratasi serta tekanan inflasi mereda.
Menilik Ekspor-Impor Indonesia
Neraca perdagangan Indonesia Maret 2023 mengalami surplus US$2,91 miliar. Dengan demikian, Indonesia telah menorehkan surplus 35 bulan beruntun sejak Mei 2021.
Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Imam Machdi menuturkan bahwa surplus pada Maret 2023 ini berasal dari sektor nonmigas US$4,58 miliar, namun tereduksi oleh defisit sektor migas senilai US$1,67 miliar.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), total nilaiekspor Indonesia pada Maret 2023 mencapai US$ 23,5 miliar.
Angka tersebut menguat 9,89% dibanding Februari 2023 (month-on-month/mom). Tapi, nilainya masih lebih rendah 11,3% dibanding Maret tahun lalu (year-on-year/yoy).
Hal serupa terjadi pada impor Indonesia yang nilainya meningkat 29,3% secara bulanan (mom) menjadi US$ 20,6 miliar, tapi turun 6,26% secara tahunan (yoy).
Adapun jika dilihat secara kumulatif,nilai ekspor Indonesia sepanjang kuartal I 2023 mencapai US$ 67,2 miliar, naik 1,6% dibanding kuartal I tahun lalu. Sementara,nilai impot kuartal I 2023 mencapai US$ 54,95 miliar, turun 3,28% dibanding kuartal I tahun sebelumnya.
Dengan ini, beberapa analis memperkirakan bahwa tekanan sektor manufaktur di beberapa negara mau tidak mau memberikan dampak terhadap Indonesia.
Kinerja ekspor Indonesia bakal diuji di bulan-bulan mendatang, sering perubahan aktivitas manufaktur di negara tujuan yang bervariasi.