Food Estate Jokowi Terus Dikritik Cak Imin, Emang Seburuk Itu?
Program food estate (lumbung pangan) yang dicetus oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus dikritik oleh banyak orang karena dinilai gagal.
Sejak awal kalimat ini muncul, memang menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Food Estate lagi-lagi diperbincangkan karena dinilai gagal dan menyajikan data tak valid.
Food estate bahkan terus dikritik oleh pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil preside (cawapres) nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Cak Imin) atau AMIN.
Konsep food estate secara garis besar merupakan merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk melakukan pengembangan pangan secara terintegrasi baik dalam lingkup https://138kas.info/ pertanian, perkebunan, peternakan pada suatu kawasan tertentu.
Namun yang sedang aktif digaungkan pemerintah bertumpu pada persoalan pangan. Food estate ada sebagai upaya menjadikan lumbung pangan nasional agar pasokan makanan dalam negeri tidak mengalami kekurangan.
Banyaknya kritikan dan pro-kontra pada program ini diakibatkan karena food estate sebagai salah satu program unggulan pemerintah yang diklaim untuk mewujudkan kemandirian pangan Indonesia dinilai akan menimbulkan masalah lingkungan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan. Dampak positifnya hingga kini juga belum banyak dirasakan.
Program yang membutuhkan biaya cukup besar serta fokus pelaksanaannya berada di lahan-lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan baik itu hutan lindung, hutan produksi dimana sebagiannya berada di kawasan areal penggunaan lain (APL) dan di atas lahan gambut menuai kritik dari berbagai pihak.
Bukan tanpa alasan, penolakan bersumber dari rekam jejak program pada rezim sebelumnya yang sempat mencatatkan kegagalan.
Sementara itu, tentunya isu lingkungan menjadi perhatian utama bagi yang kontra terhadap food estate. Banyak penelitian bahkan kajian yang membuktikan bahwa program lumbung pangan nasional ini menimbulkan berbagai ancaman bagi kelestarian lingkungan.
Salah satu contoh investigasi yang dilakukan Tempo di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, bersama dengan the Gecko Project yang didukung oleh Greenpeace,Rainforest Investigations Network of Pulitzer Center dan Internews’ Earth Journalism Networkyang menunjukkan bahwa dalam pembangunan food estate banyak ditemukan pelanggaran aturan pemerintah yang dilakukan oleh perusahaan swasta.
Aktivitas dibukanya lahan hutan yang meningkatkan deforestasi dan pemanasan global telah menyebabkan banjir di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah.
Selain di Kalimantan Tengah, berdasarkan laporan Walhi 2021, konflik agraria juga terjadi di sejumlah wilayah ketetapan food estate.
Di Papua misalnya, penolakan masyarakat adat terhadap food estate bukan tanpa alasan, melainkan karena melihat pengalaman akibat program lumbung pangan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang membuat masyarakat adat Malind Anim dan masyarakat adat lainnya kehilangan hak ulayat dimana tanahnya dikonversi menjadi lahan MIFEE.
Dilematis Food Estate
Pemerintah membangun program food estate tentunya untuk langkah pencegahan krisis pangan dan ketergantungan akan impor pangan.
Bahkan, program ini sempat diisukan sebagai langkah antisipatif pemerintah dalam menindaklanjuti peringatan FAO terhadap krisis pangan akibat wabah Covid-19. Namun, pemerintah membantahnya.
Pemerintah yang ingin mengembangkan food estate agar mengurangi ketergantungan kepada impor pangan, terutama impor beras nyatanya belum berjalan dengan baik. Di 2023, impor beras justru melonjak signifikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton pada 2023. Angka impor tersebut merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir.
“Selama 5 tahun terakhir impor beras di 2023 ini merupakan yang terbesar,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Pudji mengatakan angka impor tersebut mengalami peningkatan 613,61% dibandingkan 2022. Pada 2022 Indonesia mengimpor beras sebanyak 429 ribu ton.
Yang anehnya, melonjaknya impor beras terjadi menjelang gelaran Pemilu. Data menunjukkan lonjakan impor terjadi lebih dekat pergerakan impor setahun menjelang pemilu atau kerap disebut dengan tahun politik yakni tahun 2003, 2008, 2013, 2018 dan 2023.
Memang, mayoritas impor jelang pemilu ini selalu mencatat angka yang ‘gila-gilaan’. Pengecualian pada tahun 2013pemerintah mengimpor 427,66 ribu ton beras. Namun tahun pemilu 2014 lah yang justru mencatatkan kenaikan.
Sebelum 2023, terakhir impor beras melonjak signifikan yakni pada 2018, tentunya setahun menjelang Pemilu 2019, di mana kala itu Indonesia mengimpor beras 2.253.824 ton atau 2,25 juta ton.
Namun apakah impor beras yang melonjak murni karena menjelang Pemilu? Pemerintah pun membantah hal ini. Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, pada Oktober 2023 mengatakan kuota impor yang sudah diberikan sebelumnya sebanyak 2 juta ton dianggap belum cukup sehingga harus ditambah.
“Kan sudah lihat neracanya kan, kalau di akhir tahun Oktober, November, Desember itu kan semuanya di bawah 2 juta ton. 1,6 atau 1,1.. ditambah El Nino,” kata Arief saat ditemui di Gedung E Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Selasa (10/10/2023).
Dia memaparkan, alasan penambahan impor beras itu untuk mengisi ulang stok beras yang ada di gudang Perum Bulog. Di mana, di saat bersamaan, pemerintah tengah menjalankan sejumlah program penyaluran bantuan beras dan operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Apakah Food Estate Benar-Benar Gagal?
Terlepas dari masalah food estate yang dinilai gagal dan Indonesia masih bergantung dengan mengimpor beras, memang program ini masih berprogres.
Dari keterangannya pada CNBC Indonesia, Kementan sebut proyek food estate tak gagal namun masih berprogres untuk menopang ketahanan pangan nasional. Saat ini food estate Kementan berfokus pada komoditas holtikultura dan beras.
Sebenarnya isu membangun ketahanan pangan di Tanah Air sudah dihembuskan sejak lama. Bahkan sejak era Presiden Soeharto. Di era Soeharto, ketahanan pangan hanya dilihat dari kemampuan swasembada beras saja.
Ketahanan pangan kala itu diartikan secara sempit. Padahal ketahanan pangan merupakan salah satu bentuk kedaulatan negara.
Tujuan ketahanan pangan itu sendiri adalah untuk menyediakan kebutuhan pangan yang tak hanya mencukupi (availability), terjangkau (affordability) tetapi juga aman dan bergizi (safety).
Jika mengacu pada skor Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia tercatat sebesar 60,2 poin pada 2022. Berdasarkan laporan Economist Impact, skor GFSI milik Indonesia mengalami peningkatan 1,7% dibandingkan pada 2021 yang sebesar 59,2 poin.
Skor indeks tersebut menjadikan ketahanan pangan Indonesia pada 2022 dalam kategori moderat (skor 55-69,9 poin). Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara, diapit oleh Tunisia dan Kolombia yang masing-masing memiliki skor 60,3 poin dan 60,1 poin.
Secara umum, keterjangkauan harga pangan Indonesia dinilai cukup baik dengan skor 81,5 poin. Namun, beberapa indikator lain, seperti ketersediaan pasokan, kualitas dan keamanan, serta keberlanjutan dan adaptasi pangan masih lemah.
Secara rinci, indikator ketersediaan pasokan Indonesia memiliki skor sebesar 50,9 poin. Skor indikator kualitas dan keamanan pangan Indonesia sebesar 56,2 poin. Lalu, indikator keberlanjutan dan adaptasi pangan sebesar 46,3 poin.
Jika pemerintah memang benar-benar ingin mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia, maka aspek ketersediaan, keterjangkauan dan keamanan pangan harus benar-benar jadi patokan utama. Keberadaanfood estateyang direncanakan haruslah menjawab permasalahan dari ketiga aspek tersebut.
Agar ketiga aspek tersebut dapat terwujud, maka perencanaan yang matang, koordinasi antara lembaga yang solid hingga eksekusi di lapangan yang baik mutlak diperlukan.
Namun sejauh ini, pengembangan food estate sudah sedikit terlihat meski angkanya masih belum dapat memuaskan banyak orang. ini menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 dalam rangka memperkuat dan menjaga ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA), Rachmi Widiriani mengungkapkan, saat ini Indonesia memiliki 4.868 lumbung pangan masyarakat (LPM) yang tersebar di 388 Kabupaten dan 33 Provinsi di Indonesia. Dia menegaskan koordinasi dalam Penguatan CPPDesa dan Lumbung Pangan Masyarakat juga akan terus dipantau.
Dilansir dari Kementerian Pertanian, dengan pengembangan food estate, pengelolaan pertanian tidak lagi dengan cara biasa atau konvensional, tetapi dilakukan pada skala usaha yang luas (economy of scale) dengan penerapan inovasi teknologi serta pengembangan kelembagaan dan infrastruktur pendukung.
Implementasi pengembangan food estate, telah diawali dengan membangun food estate di Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2020, dan direncanakan akan terus dikembangkan sampai pada tahun 2024.