Gorengan Politik Utang AS Bisa Bikin Warga RI & Dunia Merana!

President-elect Joe Biden speaks about the violent protests in Washington from The Queen theater in Wilmington, Del., Wednesday, Jan. 6, 2021. Biden has called the violent protests on the U.S. Capitol

Kabar kurang sedang datang dari perundingan kenaikan batas utang Amerika Serikat (AS) pada Rabu waktu setempat. Ketua DPR AS, Kevin McCarthy mengatakan negosiasi pengurangan belanja pemerintah masih buntu.

“Saya berpikir ini (pengurangan belanja) masuk akal. Masuk akal dan rasional jika kita mengurangi belanja pada https://rtpslot24jam.com/ tahun depan dibandingkan tahun ini. Setiap rumah tangga harus melakukan hal yang sama,” kata McCarthy, yang berasal dari Partai Republik sebagaimana dilansir CNBC International.

Di sisi lain, Presiden Joe Biden dan Partai Demokrat ingin nilai belanja pemerintah tetap sama.

Amerika Serikat saat ini mengalami masalah inflasi tinggi, pengurangan belanja memang menjadi salah satu cara untuk menurunkannya. Namun, ketika menjadi komoditas politik, tentunya semua bisa berbeda.

Sebagai partai yang berkuasa, Demokrat tentunya tidak ingin popularitasnya menurun dengan mengurangi nilai belanja pemerintah.

Membiarkan pemerintah AS melakukan belanja besar tentunya akan kurang menguntungkan bagi posisi Partai Republik sebagai oposisi.

Pembatasan belanja pemerintah menjadi masalah klasik dalam pembasahan pagu utang Amerika Serikat. Terutama jika parlemennya dikuasai oleh oposisi.

Dampak dari gorengan politik tersebut tidak hanya berdampak di Amerika Serikat saja, tetapi juga dunia, termasuk Indonesia.

Beberapa hari sebelum AS kehabisan uang, yang disebut terjadi paling cepat 1 Juni oleh Menteri Keuangan Janet Yellen, pasar finansial sudah mulai gonjang-ganjing. Bursa saham Asia hingga Eropa rontok pada perdagangan Rabu. Wall Street pun menyusul.

Kali terakhir pagu ini dinaikkan pada Desember 2021 sebesar US$ 2,5 triliun menjadi US$ 31,4 triliun. Dan kini utang Amerika Serikat sudah menyentuh batas tersebut, artinya Kementerian Keuangan AS tidak lagi bisa menerbitkan surat utang (Treasury) guna membiayai pemerintahan.

Jika pagu utang triliun tidak dinaikkan hingga 1 Juni, pemerintah AS tidak akan memiliki uang untuk membayar bunga dan pokok utang sehingga dikatakan mengalami gagal bayar (default). Tidak hanya itu, uang untuk membiayai operasional pemerintahan juga tidak ada, sehingga akan mengalami penutupan (shutdown).

Masalah pagu utang pada era Presiden AS ke-45 Donald Trump membuat pemerintah AS mengalami shutdown selama 35 hari, tetapi tidak sampai default.

Menurut Congressional Budget Office (CBO), shutdown tersebut berdampak ke perekonomian sebab sekitar 800.000 tenaga kerja dirumahkan, kemudian belanja pemerintah federal juga menjadi tertunda.

Berdasarkan kalkulasi CBO, kerugian yang diderita AS sebesar US$ 11 miliar. Dari kerugian tersebut, sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun hilang permanen.

Dengan kerugian tersebut, produk domestik bruto (PDB) pun terpangkas.

Sementara jika default sampai terjadi, dampaknya akan lebih buruk lagi. Yellen berulang kali menyebut akan terjadi “malapetaka” ekonomi. Berdasarkan analisis dari Council of Economic Adviser (CEA) jika default terjadi dalam jangka pendek atau sebentar saja, bisa memangkas PDB atau pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2023 sebesar 0,6%, pemutusan hubungan kerja (PHK) 500.000 orang, dan kenaikan tingkat pengangguran sebesar 0,3%.

Perhitungan Moody’s bahkan lebih horor lagi, PHK disebut bisa mencapai 2 juta orang dan tingkat pengangguran naik menjadi 5%

Kemudian, menurun CEA, jika default terus terjadi berlarut-larut maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi hingga 6,1%, artinya terjadi kontraksi yang dalam. PHK bisa mencapai 8,3 juta orang, dan tingkat pengangguran naik 5% menjadi 8,4% dari level saat ini. PHK massal tersebut bahkan diprediksi akan terus terjadi hingga kuartal I -2024.

Dampaknya ke Dunia dan Indonesia 

Dunia termasuk Indonesia juga akan merasakan dampak buruk dari “kebangkrutan” yang dialami Amerika Serikat. Menurut kepala ekonom Moody’s, Mark Zandi, default jangka pendek saja bisa menyebabkan suku bunga yang sangat tinggi hingga bertahun-tahun ke depan.

Sebabnya, ketika default terjadi maka peringkat kredit Amerika Serikat akan diturunkan, dan pasar tidak lagi menganggap Treasury sebagai risk-free asset. Hal ini membuat pemerintah AS harus memberikan kupon yang tinggi guna menarik minat investor untuk membeli Treasury.

Persaingan untuk antar negara untuk menarik investor pun dimulai, suku bunga di berbagai negara bisa akan naik guna mengimbangi bunga tinggi yang diberikan Amerika Serikat. Alhasil, warga dunia akan merasakan suku bunga pinjaman, misalnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR), tinggi mencekik.

Pelambatan ekonomi, bahkan resesi dunia pun menjadi keniscayaan. Selain menekan konsumsi rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian, ekspansi dunia usaha tentunya juga akan melambat akibat tingginya bunga pinjaman.

Contoh lain, mengutip APNews (22/5/2023), pesanan untuk pabrik China yang menjual barang elektronik ke Amerika Serikat bisa menyusut tajam. Investor Swiss yang memiliki obligasi pemerintah AS (US Treasury) akan menderita kerugian. Perusahaan-perusahaan SriLanka tidak dapat lagi menggunakan dolar sebagai alternatif mata uang mereka sendiri.

“Tidak ada sudut ekonomi global yang akan terhindar jika pemerintah AS gagal bayar dan krisis tidak diselesaikan dengan cepat,” kata Zandi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistiramenilai bila AS gagal bayar utang masyarakat atau investor akan mencari aset-aset yang lebih aman. Alhasil bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) harus kembali meningkatkan suku bunga acuan.

Dia menyebut, dalam situasi ini, kemungkinan suku bunga AS akan naik 50-75 basis poin (bps).”Dan itu implikasinya cukup serius juga, ya. Bayangkan kalau misalnya suku bunga di Indonesia naik sampai 75 basis poin lagi. Sementara dua tahun terakhir sudah terjadi kenaikan suku bunga yang cukup agresif. Nah, itu imbasnya nanti ya, siapa yang akan minjem uang di perbankan kalau bunganya terlalu tinggi?” ujar Bhima saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (23/5/2023).

Dalam situasi itu, penyaluran kredit perbankan akan terhambat. Kemudian, rasio risiko kredit bermasalah juga terancam naik.

Selain itu, efek sistemik lainnya, bank yang deposannya mengandalkan aliran investasi luar negeri akan terancam kekeringan likuiditas. Semua aset di luar negeri pun akan mengalami lonjakan bunga untuk mempertahankan agar investor tidak lari ke tempat lain.

Efeknya juga akan berimplikasi kepada surat utang yang diterbitkan oleh perbankan dan juga bunga deposito itu juga akan disesuaikan. Sementara itu, borrowing cost seperti yang dijelaskan sebelumnya akan lebih mahal.

Bhima mengatakan, dampak lain adalah mungkin akan lebih parah dari subprime mortgage crisis tahun 2007-2010 di Amerika yang menyebabkan gagal bayar sistemik di perbankan pada tahun 2008. Sebagaimana diketahui, hal itu juga memicu krisis ekonomi global 2007-2008.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*